Darurat Komunikasi Krisis Banjir Sumatera

Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

  GELOMBANG banjir dan longsor di Sumatera bukan sekadar deret angka di layar, melainkan rangkaian tragedi bangsa. Lebih dari 800 orang meninggal (hingga 4 Desember), banyak orang yang hilang, dan jutaan warga di tiga provinsi terpaksa mengungsi dari rumah serta tanah yang mereka cintai. Di sejumlah wilayah, akses terputus berhari-hari dan layanan dasar lumpuh. Inilah konteks nyata yang seharusnya membingkai setiap kalimat pejabat publik ketika berbicara tentang bencana. Dalam situasi seperti itu, setiap pernyataan pejabat bukan lagi komentar lepas, melainkan bagian dari cara negara hadir di hadapan warganya.

Bahasa yang dipilih dapat menjadi selimut yang menghangatkan atau pisau yang menambah luka. Standar moral dan kepekaan pejabat semestinya lebih tinggi dari rata-rata warga, sebab mereka memikul mandat melindungi nyawa dan martabat publik.

Karena itu, tidak mengherankan jika pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang menyebut situasi banjir dan longsor di Sumatera “lebih mencekam di media sosial” memicu gelombang kritik. Bagi warga yang kehilangan keluarga, rumah, dan sumber nafkah, kalimat itu terasa seperti penghapusan pengalaman konkret mereka.

Permintaan maaf yang kemudian disampaikan di lokasi terdampak patut diapresiasi sebagai koreksi. Namun, tidak cukup menjawab pertanyaan mengapa sense of crisis bisa sedemikian tipis dari pemimpin yang fungsi utamanya melindungi warganya dari risiko bencana. Bahasa Krisis Dalam kajian komunikasi krisis, W. Timothy Coombs melalui Situational Crisis Communication Theory menegaskan bahwa strategi komunikasi harus selaras dengan persepsi tanggung jawab yang dilekatkan publik pada suatu lembaga (2007). Semakin besar tanggung jawab yang dirasakan publik, semakin tinggi tuntutan terhadap empati, pengakuan atas penderitaan, dan kejelasan arah tindakan. Ketika pejabat justru meremehkan, menunda pengakuan, atau merelatifkan dampak, publik membaca itu sebagai pengingkaran tanggung jawab, bukan sekadar tergelincir kata. Di titik itu, krisis komunikasi sangat rawan berubah menjadi krisis kepercayaan. Di kesempatan lain, Peter Sandman mengingatkan bahwa persepsi risiko publik tidak hanya ditentukan oleh tingkat bahaya, tetapi juga kemarahan dan rasa ketidakadilan yang mereka alami (1994; 1998). Rumus yang ia ajukan, risiko sama dengan bahaya ditambah outrage, menjelaskan mengapa komunikasi yang dingin di tengah situasi genting justru memperburuk keadaan.

Di Sumatera, bahaya tampak nyata dalam korban jiwa, rumah yang hancur, serta terputusnya akses jalan dan jaringan. Outrage tumbuh ketika penderitaan itu terdengar dikecilkan, seolah hanya riuh rendah di linimasa.

Selanjutnya, Arjen Boin dan kolega menjelaskan, pemimpin di saat krisis memikul tugas sense making dan meaning making, yakni membaca situasi secara jernih serta membantu publik memberi makna pada peristiwa yang mengguncang hidup mereka (2005).

Pada tahap ini, bahasa pejabat tidak bisa berhenti pada laporan angka dan daftar logistik yang akan dikirim. Ia harus menggabungkan kejujuran tentang skala ancaman, pengakuan atas luka sosial, dan keyakinan bahwa negara sungguh berupaya hadir.

Bila makna yang ditawarkan pejabat terasa jauh dari realitas korban, ruang itu akan segera diisi narasi lain yang belum tentu akurat, tapi lebih menyentuh emosi.

Sense of crisis yang sehat bertolak dari kesadaran bahwa setiap korban adalah dunia yang runtuh, bukan sekadar satu angka tambahan di tabel laporan.

Pejabat kebencanaan sejatinya memiliki akses informasi paling lengkap dan wewenang menggerakkan sumber daya, sehingga kewajiban moral mereka untuk peka mestinya berlipat ganda.

Darurat sistem komunikasi Insiden komunikasi di tengah banjir Sumatera selayaknya dibaca sebagai cermin kelemahan sistemik, bukan sekadar kesalahan individu. Selama ini kita kerap menganggap kemampuan berbicara di depan kamera sebagai bakat personal. Padahal dalam krisis, komunikasi yang baik adalah bagian dari kapasitas institusional. Tanpa standar yang jelas, ruang publik terancam hanya bergantung pada intuisi tiap pejabat, yang tidak selalu ditempa oleh pengetahuan tentang komunikasi krisis dan kebencanaan. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction menempatkan pemahaman risiko dan penguatan tata kelola risiko sebagai prioritas, termasuk pentingnya komunikasi risiko yang transparan dan mudah dipahami publik (UNISDR, 2015). Dalam kerangka itu, bahasa pejabat tidak boleh berhenti pada istilah teknis dan kalimat normatif yang ‘aman’ bagi birokrasi. Bahasa negara harus mampu menjelaskan apa yang sudah dilakukan, apa yang belum mampu dilakukan, dan apa yang akan diupayakan, sambil mengakui bahwa negara tidak selalu sanggup menghapus seluruh luka. Lebih jauh, dari Coombs, pejabat dapat belajar bahwa strategi komunikasi memengaruhi langsung reputasi lembaga dan kesiapan publik untuk kembali percaya setelah krisis mereda. Dari Sandman, mereka diingatkan bahwa mengabaikan atau mengecilkan kemarahan warga hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan, setinggi apa pun tumpukan bantuan yang dikirimkan. Dari Boin, tampak bahwa setiap krisis adalah arena perebutan makna, sehingga kegagapan bahasa negara berpotensi ditafsir secara berbeda yang belum tentu berpihak pada korban. Konteks ini menegaskan mengapa pejabat di lembaga kebencanaan, kementerian, hingga pemerintah daerah perlu mendapatkan pembekalan pola dan strategi komunikasi publik yang serius.

Setiap retreat kepemimpinan dan lokakarya penyegaran pejabat seharusnya memuat sesi inti tentang komunikasi publik dan komunikasi politik di saat krisis, bukan sekadar gim kekompakan. Pada akhirnya, bahkan komunikasi efektif pun belum tentu dapat menggantikan kewajiban negara untuk menyelamatkan nyawa, memulihkan infrastruktur, dan memperbaiki tata ruang. Justru komunikasi yang keliru sudah pasti dapat merusak kerja keras teknis dalam hitungan detik, terutama ketika korban merasa dikecilkan pengalamannya. Jika pelajaran ini sungguh diambil, pada bencana berikutnya energi kita tidak lagi dihabiskan oleh silang pendapat soal pilihan kata pejabat.

Energi publik dapat diarahkan untuk mengawasi distribusi bantuan, mendorong keadilan bagi korban, dan menuntut keberanian politik untuk memperbaiki kebijakan yang memperparah risiko. Sebab, Indonesia butuh pejabat yang bukan hanya cekatan mengoordinasi alat berat dan logistik, tetapi juga matang dalam berbicara kepada warga yang hidupnya baru saja berubah selamanya

SUMBERhttps://nasional.kompas.com/read/2025/12/05/07300011/darurat-komunikasi-krisis-banjir-sumatera?page=3



 





Darurat Komunikasi Krisis Banjir Sumatera Darurat Komunikasi Krisis Banjir Sumatera  Reviewed by wongpasar grosir on 09.05 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.