Pernah bertemu seseorang yang tampak ramah dan sabar kepada orang lain, tapi mudah marah kepada keluarganya sendiri? Fenomena ini ramai dibahas di media sosial setelah sebuah unggahan di Instagram menyinggung perilaku tersebut. "Psikologi di balik ramah ke orang lain tapi mudah marah ke keluarga sendiri. Ada gak keluarga kamu yang seperti ini? Atau malah kamu sendiri?" tulis pengguna akun Instagram @aka******** dalam unggahannya pada Kamis (23/10/2025).
Unggahan itu pun menuai banyak komentar dari warganet. “Gue bingung. Punya luka apa dulu sampai segitunya marah ke anak,” tulis pemilik akun @mae*******. “Yang paling sedih itu kita yang jadi sasarannya. Terus disalahkan tanpa sebab jelas,” komentar akun @dia*******.
Unggahan itu pun menuai banyak komentar dari warganet. “Gue bingung. Punya luka apa dulu sampai segitunya marah ke anak,” tulis pemilik akun @mae*******. “Yang paling sedih itu kita yang jadi sasarannya. Terus disalahkan tanpa sebab jelas,” komentar akun @dia*******.
Ragam kemungkinan penyebabnya Menurut psikolog klinis Adityana Kasandra Putranto, ada beberapa kondisi yang bisa menjadi penyebab seseorang bersikap ramah kepada orang lain, tetapi mudah marah kepada keluarga sendiri. Apa saja? 1. Keluarga sebagai zona aman emosional (emotional safety zone) Pertama, ia menyampaikan, fenomena tersebut bisa terjadi karena keluarga dianggap sebagai zona paling aman secara emosional. “Di luar rumah, kita cenderung menahan diri karena takut ditolak, dihakimi, atau kehilangan relasi. Akibatnya, emosi terpendam sering kali dilepaskan di rumah,” terangnya, saat dimintai tanggapan Kompas.com, Selasa (28/10/2025). Dengan kata lain, seseorang merasa keluarga tidak akan meninggalkannya, sehingga merasa bebas mengekspresikan emosi, termasuk kemarahan.
2. Peran sosial vs identitas asli Adityana mengatakan, ketika berinteraksi dengan orang lain, seseorang biasanya mengenakan ‘topeng sosial’, yakni bersikap ramah, sopan, dan sabar untuk menjaga citra serta harmoni. Namun di rumah, topeng itu dilepas. “Individu menunjukkan dirinya apa adanya, termasuk sisi yang lelah, kesal, atau frustrasi,” jelas Adityana.
3. Ekspektasi tinggi terhadap keluarga Orang cenderung memiliki harapan lebih besar terhadap keluarga dibandingkan terhadap orang lain. “Kalau pasangan, orang tua, atau anak tidak sesuai ekspektasi, kita lebih mudah marah. Sementara orang luar tidak mendapat tekanan harapan sebesar itu,” kata Adityana.
4. Budaya "menjaga muka" Menurut Aditya, faktor budaya juga berperan. Ia menjelaskan, budaya Indonesia kuat untuk menghormati orang luar, seperti halnya anggapan bahwa tamu adalah raja. "Namun ketika di dalam rumah, batasan sopan santun sering kendur dengan pikiran bahwa 'Ah, kan keluarga sendiri'," jelas Adityana.
5. Akumulasi stres harian Setiap hari, seseorang mungkin menahan emosi di tempat kerja, di jalan, atau di lingkungan sosial. Ketika pulang ke rumah, semua beban itu dilepaskan. “Hubungan dengan keluarga adalah tempat paling aman untuk mengekspresikan emosi, termasuk yang negatif,” kata Adityana. Karena merasa diterima tanpa syarat, seseorang jadi menurunkan kontrol emosi di rumah. Di sisi lain, di ruang publik, tekanan sosial untuk menjaga citra membuat regulasi emosi lebih terjaga.
Selain itu, perilaku ini juga bisa dipengaruhi oleh pola yang ditiru sejak kecil. “Jika seseorang tumbuh di keluarga yang sering mengekspresikan kemarahan secara bebas, pola itu bisa terbawa sampai dewasa,” ungkapnya.
Tidak ada komentar: