Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mendongkrak harga pangan pokok dunia naik. Kondisi ini memicu risiko yang lebih luas bagi warga dunia. Hal ini berdasarkan studi terbaru yang dipimpin oleh Maximilian Kotz dari Barcelona Supercomputer Center. Dikutip dari CNN, Senin (21/7/2025), harga pangan, mulai dari harga kentang di Inggris hingga harga kopi di Brasil, melonjak dalam beberapa tahun terakhir.
Lonjakan harga pangan ini lantaran kondisi cuaca yang sangat ekstrem sehingga melampaui semua preseden historis sebelum tahun 2020.
Studi sebelumnya telah meneliti bagaimana suhu tinggi memengaruhi biaya produksi pangan dalam jangka panjang, dengan memengaruhi hasil panen dan menghantam rantai pasokan. Studi terbaru ini mengamati 16 sampel di 18 negara di dunia di mana harga pangan melonjak dalam jangka pendek sebagai akibat dari panas ekstrem, kekeringan, atau curah hujan lebat antara tahun 2022 dan 2024. Harga kubis di Korea Selatan 70 persen lebih tinggi pada September 2024 dibandingkan September 2023 setelah gelombang panas pada bulan Agustus.
Sementara itu, harga minyak zaitun melonjak 50 persen di Eropa pada Januari 2024 dibandingkan tahun sebelumnya setelah kekeringan berkepanjangan di Italia dan Spanyol pada tahun 2022 dan 2023. Tak hanya itu, salah satu kekeringan terparah yang dialami Meksiko selama dekade terakhir juga menyebabkan kenaikan tajam harga buah dan sayur pada bulan tersebut.
Harga beras melonjak 48 persen di Jepang pada September 2024 menyusul gelombang panas yang merupakan yang terpanas sejak pencatatan regional dimulai pada tahun 1946, kecuali musim panas yang sama panasnya pada tahun 2023.
Ghana dan Pantai Gading menyumbang hampir 60 persen dari produksi kakao dunia. Dengan demikian, gelombang panas di sana pada awal 2024 yang menurut para ilmuwan menjadi 4 derajat Celsius lebih panas akibat perubahan iklim menyebabkan harga kakao dunia naik drastis sebesar 280 persen pada April 2024
Studi itu juga menemukan, makanan sehat cenderung lebih mahal daripada alternatif yang kurang sehat, sehingga lonjakan harga pangan sering kali menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah mengurangi konsumsi makanan bergizi seperti buah dan sayur. Studi tersebut menyoroti risiko sosial lanjutan yang diakibatkannya. Harga pangan yang terdampak cuaca berpotensi berkontribusi terhadap komplikasi kesehatan seperti malnutrisi, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung.
Para peneliti menjelaskan, selain naiknya harga pangan, kondisi cuaca ekstrem juga dapat memperburuk inflasi secara keseluruhan, yang dapat menyebabkan keresahan politik dan pergolakan sosial. "Sampai kita mencapai emisi nol bersih, cuaca ekstrem hanya akan semakin buruk, dan sudah merusak tanaman pangan serta menaikkan harga pangan di seluruh dunia," ujar Kotz dalam laporan studinya.
"Orang-orang menyadari (hal ini), dengan kenaikan harga pangan berada di urutan kedua dalam daftar dampak iklim yang mereka lihat dalam hidup mereka, setelah panas ekstrem itu sendiri," imbuhnya. Tim Benton, profesor ekologi populasi di University of Leeds menyatakan, temuan ini menambah literatur yang berkembang tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi pertanian di seluruh dunia.
“Kekurangan pasokan pasti berdampak pada pasar, menaikkan harga bagi orang-orang yang membeli makanan. Sayangnya, dampak pada harga pangan ini diperburuk oleh dunia yang lebih tegang dan lebih diperebutkan, di mana perdagangan global sudah berada di bawah tekanan akibat konflik atau sengketa perdagangan,” katanya kepada CNN. Ke depan, imbuh dia, warga dunia semakin menghadapi kondisi di mana volatilitas adalah norma yang mengakibatkan krisis biaya hidup permanen.
"Semakin lama kita gagal mengatasi perubahan iklim dengan urgensi yang dibutuhkannya, semakin besar hal-hal seperti itu akan berdampak pada kita semua,” tambahnya.
Tidak ada komentar: