Komunitas #KawanHermanBimo Kenang 2 Aktivis Unair Korban Penculikan dengan Film Dokumenter

 


Surabaya (beritajatim.com) – Komunitas #KawanHermanBimo membuat film dokumenter tentang dua mahasiswa Universitas Airlangga yang menjadi korban penculikan pada 1998, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.

Film dokumenter berjudul Yang (Tak Pernah) Hilang itu diputar terbatas di Ruang Adi Sukadana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga, Surabaya, Rabu (7/2/2024).

Film berdurasi dua jam itu diproduseri Dandik Katjasungkana, Koordinator Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) Jawa Timur, dan digarap dua sutradara secara estafet, Hari Nugroho dan Anton Subandrio. “Mas Hari meninggal dunia pada 2020 karena hipertensi, sehingga digantikan Mas Anton Subandrio,” kata Dandik.

Film ini merekonstruksi tak hanya kisah hidup Herman dan Bima sejak kecil di mata keluarga, tapi juga kisah perjuangan mereka melawan rezim Orde Baru hingga detik-detik terakhir menjelang hilang. Sebanyak 35 narasumber diwawancarai, mulai dari orang tua, saudara, kerabat, kawan sekolah, teman organisasi, dosen, hingga aktivis partai politik.

Herman dan Bima adalah mahasiswa aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang menjadi musuh Soeharto menjelanh runtuhnya Rezim Orde Baru pada Mei 1998. Mereka ditangkap di lokasi yang berbeda dan sampai saat ini hilang bersama 11 orang aktivis lainnya.

Ide film ini digagas pada 2019 dan selesai pada awal Februari 2024. Dandik menyebut pembuatan film itu tak mudah dan penuh tantangan. Selain sempat terkendala pandemi Covid-19, meninggalnya sutradara dan besarnya biaya menjadi faktor utama yang membuat pembuatan film membutuhkan waktu cukup lama.

Seorang anggota DPRD Jawa Timur, Diana Sasa, mengupayakan pemberian bantuan melalui dana hibah APBD sebagai modal awal. Namun dana itu tentu saja tak cukup. Dandik tetap harus mencari dana sendiri dengan menjual kaos bertema film tersebut.

“Tentu saja itu tidak cukup. Produksi film ini membutuhkan ongkos besar, terutama untuk biaya perjalanan ke Malang, Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan terutama ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka, tempat lahir Herman,” kata Dandik.

Dandik juga meminta bantuan kepada sejumlah mantan aktivis mahasiswa 1998 yang dipandang punya kepedulian dan kedekatan dengan Herman dan Bima. Tak bertepuk sebelah tangan. Bantuan pun mulai berdatangan dari sejumlah mantan aktivis yang tinggal di berbagai kota. “Jadi proses produksi dan pencarian dana berjalan bersamaan,” katanya.

Dandik sempat putus asa, setelah Hari Nugroho meninggal dunia. Tak ada yang berpengalaman membuat film dokumenter selain Hari di tim tersebut. “Yang mengajari Mas Hari Nugroho. Karena Mas Hari Nugroho meninggal, satu-satunya orang yang punya pengalaman di bidang film sudah tidak ada, proses pembuatannya terhenti lama,” jelasnya.

Sejumlah kawan yang sejak awal mendukung proses pembuatan film ini kemudian juga tak bisa terlibat lebih jauh dengan alasan kesibukan. Dandik sempat frustrasi. “Kok aku sendiri yang memikirkan ini. Semua sibuk. Aku merasa kalau aku sendiri yang menggarap ini, aku tidak sanggup. Buyar sajalah. Jadi aku sempat pada titik terendah demoralisasi,” katanya.

Puspita Ratna Yanti, sang istri dan aktivis Ikohi. mendorong Dandik untuk tetap menjalankan proyek itu. “Arek-arek banyak kesibukan. Ya kamu yang harus ambil (tanggung jawab),” katanya.


Dandik kemudian teringat ucapan Hari Nugroho pada awal pembuatan film ini. “Ini utang sejarah kita kepada Bimo dan Herman. Aku merinding sampai sekarang kalau ngomong soal itu. Karena ini utang, maka harus dibayar lunas,” katanya.


Dandik sempat memutuskan untuk mengerjakan film ini dengan caranya sendiri. “Artinya sebisaku. Mau jelek, mau bagus, pokoknya selesai,” katanya.

Di tengah perjalanan, Dandik merasa Tuhan memberikan bantuan dari arah tak terduga, termasuk mempertemukannya dengan Anton Subandrio dan istrinya Muni Moon. Mereka diperkenalkan seorang kawan.

“Kami secara gagasan bisa bertemu. Sejak awal film ini memang non komersial. Ternyata Cak Su dan Mbak Muni ini bersedia untuk tidak diberi honor. Kami akhirnya merasa punya harapan melanjutkan proses produksi film itu. Kami mulai menata ulang manajemen dan alur cerita film, serta proses produksinya dan mencari anggarannya,” kata Dandik.

Proses pembuatan film pun berlanjut pada 2021. Alur cerita disusun ulang. “Pertama kami membidik scene di rumah yang menjadi sekretariat SMID di Jalan Kedung Tarukan II Nomor 22 Surabaya. Kami menentukan siapa saja narasumbernya. Namun dalam perjalanannya, ada perubahan-perubahan di story board, alur ceritanya. Narasumbernya pun bertambah menjadi 35 orang. Ada beberapa di-drop karena tidak relevan,” kata Puspita.

Wilson, mantan aktivis mahasiswa 1998, banyak membantu Dandik untuk menemui para narasumber di Jakarta. “Kami berpikir untuk mewawancarai semua, dan nanti kami akan pilah-pilah. Ternyata sebagian besar statement mereka nyambung. Alur cerita awal yang kami buat akhirnya berubah. Kami hanya memakai scene pertama di rumah Kedung Tarukan. Sisanya berkembang di lapangan, mengikuti proses wawancara narasumber,” kata Dandik.

Film ini awalnya juga melibatkan anak-anak para mantan aktivis 1998 untuk adegan rapat mahasiswa di rumah Kedung Tarukan. Namun belakangan mereka tidak aktif satu demi satu karena kesibukan, sehingga mereka digantikan oleh sejumlah mahasiswa dari Universitas Airlangga, Universitas Widaya Mandala, Iinstitus Teknologi 10 Nopember, Universitas Pembangunan Nasional, dan Universitas 17 Agustus.

Pertemuan dengan anak-anak muda ini membuat Dandik terkesan. Mereka tidak memperoleh honor, kecuali uang Rp 100 ribu sebagai ganti ongkos transportasi saat syuting. Awalnya mereka menolak, karena tak bisa akting. Namun Dandik mendorong mereka untuk terlibat. “Nanti akan ada yang melatih. Mereka ternyata mau,” katanya.

“Mereka berjarak secara umur, generasi, dan peristiwa dengan Herman dan Bimo. Mereka mau belajar ini peristiwa apa. Sebagian besar dari mereka tidak tahu soal peristiwa penculikan aktivis 1998. Akhirnya kami harus bercerita dan memberikan arsip-arsip berita,” kata Dandik.

Tak ada kendala pengambilan gambar rumah keluarga Bimo di Malang. “Kami sudah kenal dekat dengan mereka,” kata Dandik.

Ini berbeda dengan proses pengambilan gambar di rumah keluarga Herman di Pangkal Pinang. Dandik awalnya tak punya kontak dengan keluarga Herman, sampai pada suatu hari seorang bernama Ali Hafiz Hendrawan menghubunginya via messenger Facebook. “Om, aku keponakan Herman Hendrawan,” kata Hafiz kepada Dandik. Hafiz masih bayi saat Herman di Pangkal Pinang.

Dandik, Puspita, dan Anton awalnya diterima dengan tatapan mata apatis oleh keluarga Herman. “Kalian siapa? Mau ngapain? Tidak ada gunanya begini ini,” kata seorang kakak Herman.

Dandik dan Puspita berusaha menjelaskan maksud pembuatan film itu. Keluarga Herman pun melunak, dan bersedia diwawancarai. Bahkan keluarga Herman yang menanggung makan dan minum Dandik dan kawan-kawan selama di Pangkal Pinang. “Kami hanya menanggung biaya penginapan,” kata Puspita.

Dandik berdiskusi dengan keluarga Herman untuk menentukan narasumber yang relevan untuk film tersebut, di antaranya keluarga, kerabat, dan kawan-kawan sekolah Herman. “Kami menemukan cerita-cerita baru tentang Herman di Pangkal Pinang,” katanya.

Dandik dan Puspita sempat menemui mantan pacar Herman di Pangkal Pinang. “Kami kontak via telepon. Yang menerima suaminya, yang ternyata masih ada rasa cemburu. Saya dimarahi: ‘Apa? Tidak ada itu. Saya ini orang politik’. Akhirnya kami drop,” kata Puspita tertawa.

Dandik bertemu guru sejarah keponakan Herman di bangku sekolah menengah atas. “Kami ini juga sering bicara sejarah Reformasi 1998 waktu mengajar siswa-siswa. Tapi kami tidak tahu ada Herman yang menjadi pejuang reformasi. Kalau ada buku atau bahan apapun yang bisa dikirimkan ke sini, kami akan gunakan sebagai bahan ajar siswa di SMA ini,” kata sang guru kepada Dandik.

Rabu (7/2/2024) sore, Dandik bisa tersenyum lega. Akhirnya film itu bisa ditayangkan di hadapan puluhan mahasiswa dan mantan aktivis di kampus FISIP Unair, Surabaya. Hotman Siahaan, guru besar FISIP Unair, bahagia menyaksikan film itu.

“Dua mahasiswa ini menjadi tumbal Reformasi. Kalau tidak ada Reformasi, saya kira Jokowi tidak akan jadi presiden. Kalau mahasiswa FISIP banyak yang tidak tahu tentang dua mahasiswa ini, maka itu kesalahan Fakultas,” kata Hotman.

Muhammad Iqbal, dosen FISIP Universitas Jember dan kawan dua aktivis tersebut, menyebut hilangnya Herman dan Bimo adalah tragedi kemanusiaan. “Film Yang (Tak Pernah) Hilang ini harus dilihat dalam konteks sejarah masa depan, bagaimana peradaban dibangun dengan sebuah tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, yang sampai hari ini absen. Problem besarnya adalah bagaimana mengungkap peristiwa kemanusiaan ini,” katanya. [wir]




SUMBERhttps://beritajatim.com/pendidikan-kesehatan/komunitas-kawanhermanbimo-kenang-2-aktivis-unair-korban-penculikan-dengan-film-dokumenter/

Komunitas #KawanHermanBimo Kenang 2 Aktivis Unair Korban Penculikan dengan Film Dokumenter Komunitas #KawanHermanBimo Kenang 2 Aktivis Unair Korban Penculikan dengan Film Dokumenter Reviewed by WONGPASAR GROSIR MALANG on 09.53 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.