Seorang remaja laki-laki di Singapura, Au Wan Rong, mengidap penyakit langka yang membuat kedua ginjalnya harus diangkat saat usianya baru 13 tahun. Kini, di usia 16 tahun, ia menjalani perawatan cuci darah atau dialisis peritoneal setiap hari. Metode ini merupakan perawatan gagal ginjal berbasis rumah yang memanfaatkan lapisan rongga perut sebagai filter alami untuk membuang limbah dan kelebihan cairan dari darah.
Ia melakukannya sendiri dengan ketelitian tinggi, mulai dari mengeluarkan cairan lama, mengisinya kembali dengan larutan baru, hingga menunggu proses penyaringan selesai.
Proses ini memerlukan tingkat sterilisasi yang sangat ketat, termasuk mencuci tangan dengan saksama dan membersihkan area sambungan sebelum setiap pertukaran cairan untuk mencegah infeksi. “Ia adalah pasien termuda saya yang melakukan prosedur ini sendiri dan melakukannya dengan bersih tanpa infeksi,” ujar Associate Professor Ng Kar Hui, konsultan senior di Divisi Nefrologi Anak, Dialisis, dan Transplantasi Ginjal, Departemen Pediatrik Khoo Teck Puat–National University Children’s Medical Institute. Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2025/11/12/200000065/remaja-ini-hidup-tanpa-ginjal-akibat-penyakit-langka-harus-cuci-darah-tiap. Membership: https://kmp.im/plus6 Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Penyakit langka akibat mutasi gen TRPC6 Menurut Prof Ng, kondisi gagal ginjal yang dialami remaja bernama Wan Rong disebabkan oleh mutasi pada gen TRPC6, yaitu protein penting dalam sel ginjal yang berfungsi menyaring limbah dari darah. Mutasi ini menyebabkan efek “gain-of-function”, di mana aktivitas berlebihan membuat unit penyaring ginjal bocor, sehingga protein keluar bersama urin. Akibatnya, timbul pembengkakan, kelelahan, dan akhirnya gagal ginjal. Kondisi itu pertama kali muncul saat Wan Rong berusia tujuh tahun, ketika orang tuanya menyadari urinnya tampak berbusa seperti air sabun dan wajahnya mulai membengkak.
Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Wanita dan Anak KK untuk menjalani pemeriksaan darurat. Setelah serangkaian rawat inap dan kunjungan klinik, dokter menyimpulkan bahwa Wan Rong mengidap penyakit ginjal serius, meski penyebab pastinya belum diketahui saat itu. Awalnya, ia diberi pengobatan steroid untuk mengurangi peradangan, tetapi tidak menunjukkan hasil.
Kondisinya terus memburuk, hingga setahun kemudian ia dirujuk ke National University Hospital, satu-satunya rumah sakit di Singapura dengan layanan dialisis kronis khusus anak. “Obatnya menjadi toksik karena tubuhnya tidak merespons, dan ginjalnya memburuk cukup cepat," jelas Prof Ng, sebagaimana dilansir Straits Times pada Minggu (9/11/20250.
"Saat itu kami menjalankan program penelitian genetik untuk pasien yang tidak merespons pengobatan. Kami menemukan sekitar 10–15 persen pasien penyakit ginjal memiliki penyebab genetik, dan karena itu Wan Rong diuji,” tambahnya.
Hasil tes menunjukkan, ia memiliki mutasi TRPC6 yang langka dan bersifat herediter. Artinya, jika salah satu orang tua membawa mutasi tersebut, ada kemungkinan 50 persen untuk menurunkannya kepada anak. Namun, sebagian kasus bersifat spontan dan tidak diwariskan. Mutasi TRPC6 sendiri baru ditemukan pada 2005 dan hingga kini prevalensinya belum diketahui secara pasti.
Hidup tanpa ginjal Meski harus menjalani dialisis dan terapi steroid, Wan Rong tetap berusaha menjalani masa kecil seperti anak lainnya.
Ia bermain kejar-kejaran dengan teman sekolah dasar dan menikmati hidupnya. Namun, pada usia 13 tahun, kondisinya memburuk drastis
“Saya merasakan nyeri luar biasa di kedua kaki dan dirawat di rumah sakit agar dokter bisa mencari tahu penyebabnya. Akhirnya, kedua ginjal saya harus diangkat karena penumpukan limbah dan infeksi,” ujarnya. Setelah kehilangan kedua ginjal, ia mengalami sakit kepala parah akibat tekanan darah tidak stabil, dan harus lama dirawat di rumah sakit hingga tidak dapat bersekolah. Kini, tanpa ginjal, pola makannya sangat ketat untuk mengontrol kadar limbah dan cairan dalam tubuh. Ia mengikuti diet khusus penderita gagal ginjal, termasuk pembatasan cairan ketat untuk mencegah kelebihan cairan, tekanan darah tinggi, dan gagal jantung.
Bagi pasien dengan mutasi TRPC6, transplantasi ginjal donor merupakan pengobatan paling efektif karena mutasi hanya ada pada sel tubuh pasien, bukan pada ginjal donor. Namun, daftar tunggu donor jenazah di Singapura sangat panjang. “Saya sudah menunggu selama delapan tahun dan beberapa kali mendapat kabar palsu yang berujung kekecewaan,” katanya. Rata-rata waktu tunggu transplantasi ginjal donor jenazah di Singapura mencapai 8–10 tahun, tergantung ketersediaan organ. Waktu tunggu bisa lebih singkat, sekitar enam bulan, jika ada donor hidup. Namun, karena mutasinya bersifat genetik, tidak ada anggota keluarga yang cocok menjadi donor, sehingga harapannya kini bergantung pada donor altruistik atau tanpa hubungan keluarga.
Kini, Wan Rong dan kedua orang tuanya berusaha menjalani hidup dengan keteguhan. “Sampai saya menemukan donor ginjal, saya hanya bisa menjalani hidup sebaik mungkin, satu hari demi satu hari,” ujarnya.
Tidak ada komentar: