Asal-usul Jamu Nusantara, Warisan Leluhur yang Bertahan Ratusan Tahun

 


Jauh sebelum istilah obat herbal dikenal luas, nenek moyang bangsa Indonesia telah lebih dulu mempraktikkan pengobatan alami berbasis tanaman. Ramuan itu dikenal dengan nama jamu, sebuah warisan pengetahuan tradisional yang telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara sejak berabad-abad lalu. Dalam buku Sejarah Jamu di Indonesia, dijelaskan bahwa para leluhur memanfaatkan kekayaan flora Indonesia dengan cerdas. Dari beragam tanaman obat, mereka menciptakan ramuan penyembuh yang disebut jamu. Pengetahuan ini diwariskan turun-temurun oleh para tabib dan pengobat tradisional, menjadi salah satu pilar budaya dan kekayaan dunia.

Asal-usul Kata “Jamu” dan Jejak Tertulis di Masa Lampau Kata jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yaitu jampi atau usodo, yang berarti penyembuhan melalui ramuan, doa, dan ajian. Praktik pengobatan berbasis bahan alam ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Bukti keberadaannya dapat ditemukan melalui peninggalan sejarah seperti prasasti, tulisan di daun lontar, serta relief pada candi-candi kuno. Masuknya kebudayaan Hindu dan Buddha ke Nusantara turut mengubah budaya jamu dari tradisi lisan menjadi tradisi tertulis.

Pada masa itu, pencatatan nama tanaman obat, khasiat, dan resep pengobatan mulai dilakukan di atas batu, tanah liat, atau logam yang ditorehkan menggunakan benda tajam. Seiring waktu, masyarakat kemudian beralih menulis di daun lontar (Borassus flabellifer) dengan tinta alami dari tumbuhan. Bahasa yang digunakan pun beragam, mulai dari Sansekerta, Jawa Kuno, hingga Bali.

Di Bali, warisan pengobatan tradisional dikenal dengan nama usada, yaitu kitab lontar berisi petunjuk penyembuhan berbagai penyakit. Salah satu yang terkenal adalah Usada Ila, kitab pengobatan lepra yang disertai mantra dan doa penyembuhan. Dalam salah satu mantranya tertulis: "Om sang kama kala sunya, iki ganjaran sira, buktiakna, mantuk ring unggwanta, poma, poma, poma,” yang artinya" Wahai Sang Kama Kala Sanya, ini ada makanan untukmu. Makanlah dan kembalilah ke tempat asalmu,jangan mengganggu". 

Upacara penyembuhan diiringi dengan sesajen bunga yang direndam dalam tiga jenis air (air palungan, air pandai besi, dan air pancuran). Air itu kemudian dipercikkan sembilan kali kepada penderita lepra sebagai bagian dari ritual penyembuhan.

Selain Usada Ila, ada pula Usada Kurantobolong untuk penyakit anak-anak, Usada Carekan Tingkeb yang berisi daftar tanaman obat, Usada Tua untuk penyakit orang tua, serta Usada Dalem yang membahas pengobatan penyakit dalam.

Kitab-kitab usada tersebut ditulis di daun lontar, diikat menjadi satu dengan tali, dan disimpan dalam peti kayu berukir khas Bali. Kitab usada dianggap sakral karena ditulis oleh para balian, sebutan bagi tabib tradisional Bali. Seorang balian tidak hanya harus memahami isi usada, tetapi juga menjalankan brata (pantangan) dan pawintenan (ritual penyucian diri) sebelum diizinkan mempraktikkan ilmunya. Mereka meyakini usada adalah rahasia yang tidak boleh sembarangan disebarkan. Itulah sebabnya, nama penulis usada jarang dicantumkan.

Tradisi ini diyakini sudah dimulai sejak awal tahun Saka, sekitar tahun 78 Masehi, ketika budaya baca tulis mulai berkembang di Bali.

Naskah-Naskah Kuno Nusantara Selain lontar Bali, berbagai karya tulis kuno juga menjadi bukti kecanggihan pengetahuan pengobatan di Nusantara. Di antaranya Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh dari masa Raja Jayabaya (Kerajaan Kediri, 1130–1157 M), Kidung Sunda, Kakawin Bhomakawya, Sumanasantaka, dan Lubdhaka karya para pujangga besar Jawa Timur. Karya-karya ini menunjukkan bahwa pengobatan tradisional dan spiritualitas telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat sejak masa kerajaan Hindu-Buddha.

Pengaruh Eropa dan Pencatatan Ilmiah Jamu Ketika bangsa Eropa mulai datang ke Nusantara pada abad ke-16, pengetahuan tentang tanaman obat mulai didokumentasikan secara ilmiah. Pada tahun 1627 M, Yacobus Bontius menulis Historia Naturalist et Medica Indiae, yang memuat 60 jenis tumbuhan obat Indonesia. Ahli botani Gregorius Rumphius kemudian menerbitkan Herbarium Amboinense (1741–1755 M), yang menjadi karya monumental tentang flora obat di Kepulauan Maluku. Pada abad ke-19, ilmuwan seperti M. Horsfield (1816), Van Hien (1872), dan Kloppenburg-Versteegh (1907) juga mencatat khasiat tanaman obat Jawa dalam berbagai publikasi, di antaranya Het Javaansche Receptenboek dan Indische Planten en Haar Geneeskracht. Sementara itu, M. Heyne pada 1927 menerbitkan De Nuttige Planten van N.I., yang menguraikan ribuan spesies tanaman bermanfaat di Indonesia.

Warisan Keraton dan Klasifikasi Jamu Tradisional Di Pulau Jawa, Keraton menjadi pusat pengetahuan jamu. Dua naskah terkenal yang memuat ilmu pengobatan tradisional adalah Serat Centhini (1814) dan Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawa (1858), yang mencatat 1.734 resep jamu tradisional.

Selain itu, Serat Primbon Jampi dan Primbon Sarat karya Raden Atmasupana II dari Surakarta juga menjelaskan cara hidup sehat serta klasifikasi jamu tradisional, yaitu: Jalu Usada: jamu untuk pria, termasuk ramuan afrodisiak. Wanita Usada: jamu untuk perawatan kecantikan dan kesehatan wanita. Rarya Usada: jamu anak-anak untuk mengatasi penyakit ringan. Triguna Usada: jamu umum untuk segala usia. Relief Candi dan Bukti Arkeologis Jamu Indonesia Candi-candi kuno, seperti Candi Borobudur yang dibangun pada tahun 772 M, juga menggambarkan penggunaan tanaman obat melalui reliefnya.

Beberapa tanaman yang terukir antara lain kecubung (Datura metel), mojo (Aegle marmelos), lontar (Borassus flabellifer), dan jambolana (Syzygium cumini). Relief tersebut bahkan menampilkan adegan pembuatan ramuan, pemijatan dengan lulur, hingga ritual minum jamu, menunjukkan bahwa jamu telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak era klasik.

Dalam prasasti Majapahit, disebut pula profesi “acaraki”, yang berarti peracik jamu, menandakan bahwa keahlian ini telah diakui secara sosial sejak masa kerajaan Hindu-Buddha. Sebagaimana ditulis dalam Sejarah Jamu di Indonesia, pengetahuan tentang jamu bukan hanya tentang penyembuhan, tetapi juga tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual yang menghidupi keduanya.


SUMBERhttps://www.kompas.com/jawa-timur/read/2025/10/22/183000288/asal-usul-jamu-nusantara-warisan-leluhur-yang-bertahan-ratusan-tahun?page=1

Asal-usul Jamu Nusantara, Warisan Leluhur yang Bertahan Ratusan Tahun Asal-usul Jamu Nusantara, Warisan Leluhur yang Bertahan Ratusan Tahun Reviewed by wongpasar grosir on 08.42 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.