Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menilai bahwa akar meluasnya gelombang demonstrasi di sejumlah kota berawal dari sikap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang berbicara sembarangan dan cenderung merendahkan masyarakat. Menurut JK, wakil rakyat seharusnya berhati-hati saat menanggapi kritik publik. Jika komentar yang keluar justru menyinggung perasaan masyarakat, dampaknya bisa memicu gejolak sosial yang lebih besar. “Jangan bicara asal-asal dan jangan menghina masyarakat. Ini semua yang menjadi penyebab daripada masalah,” ujar JK dalam keterangan resmi melalui sebuah video kepada Kompas.com, Jumat (29/8/2025).
Imbauan Tahan Diri untuk DPR dan Masyarakat JK meminta para pejabat, terutama anggota DPR, untuk menahan diri dan menjadikan peristiwa kerusuhan beberapa hari terakhir sebagai pelajaran berharga. “Bagi para pejabat, para anggota DPR, untuk menahan diri. Ini harus menjadi pelajaran yang besar,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak meluapkan kemarahan secara berlebihan. JK memahami keresahan publik, khususnya kalangan pengemudi ojek online, setelah rekan mereka Affan Kurniawan (21) tewas terlindas kendaraan taktis Brimob saat aksi di Jakarta. Namun, jika protes dilakukan dengan cara merusak, dampaknya justru akan mengganggu kehidupan bersama. “Kalau kota bergejolak seperti ini, maka kehidupan ekonomi akan berhenti. Pendapatan masyarakat bisa menurun, dan akhirnya berpengaruh pada nafkah keluarga masing-masing,” jelasnya. JK menambahkan, menjaga ketertiban lingkungan menjadi tanggung jawab bersama. “Masyarakat harus menjaga lingkungan masing-masing. Kalau tidak, masalah ini akan berakibat banyak dan kita semua akan terkena dampaknya,” tandasnya.
Kontroversi Tunjangan DPR Jadi Sorotan Gelombang protes yang pecah sejak Senin (25/8/2025) berawal dari polemik soal gaji dan tunjangan jumbo anggota DPR. Pernyataan sejumlah wakil rakyat saat merespons kritik justru memperburuk keadaan. Anggota Fraksi Nasdem, Nafa Urbach, misalnya, sempat mendukung pemberian tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan dengan alasan agar bisa mengontrak rumah di sekitar Senayan.
bahkan membandingkan kondisi dirinya yang tinggal di Bintaro dan kerap terjebak macet saat menuju DPR.
Ucapan itu memicu kritik keras publik, hingga akhirnya Nafa meminta maaf karena dinilai gagal membaca situasi. Tak lama berselang, Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, juga menyulut kontroversi lewat pernyataannya yang menanggapi seruan “Bubarkan DPR” di media sosial. Dalam sebuah kunjungan kerja di Medan, Jumat (22/8/2025), Sahroni menyebut orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol se-dunia.”
Pernyataan itu dianggap menambah bara di tengah keresahan publik. Dari Polemik Tunjangan ke Tuntutan Keadilan untuk Affan Rangkaian pernyataan anggota dewan ini dituding menjadi pemantik utama gelombang protes. Demonstrasi pun merebak di berbagai daerah, termasuk aksi besar di depan Gedung DPR pada Senin (25/8/2025) dan Kamis (28/8/2025).
Situasi semakin memanas setelah insiden di Jakarta, ketika kendaraan taktis Brimob melindas pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Tragedi itu membuat aksi unjuk rasa meluas, tidak lagi sebatas menolak tunjangan jumbo DPR, melainkan juga menuntut keadilan atas tindakan aparat.
Tidak ada komentar: