Praktik sunat perempuan masih ditemukan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh peneliti isu gender Lies Marcoes Nasir dalam diskusi bertajuk "Kajian Etnografi Sunat Perempuan: Konstruksi Gender, Peranan Lembaga Keagamaan, dan Peluang Penghapusannya", di Jakarta, dikutip dari Antara pada Senin (28/7/2025). “Edukasi penting karena ini (sunat perempuan) soal kultur. Kultur yang merendahkan perempuan,” kata Lies. Ia menegaskan bahwa praktik tersebut bukan hanya persoalan medis, melainkan juga sarat nilai budaya dan agama yang melanggengkan ketimpangan gender.
Menurut Lies, sunat perempuan digunakan sebagai sarana untuk mengontrol seksualitas perempuan. “Mau tindakan medis atau kultural, alasannya sebetulnya sama. Itu mekanisme untuk mengontrol seksualitas perempuan secara budaya. Dan itu bahayanya di situ,” ujarnya.
Tidak dianjurkan secara medis Secara medis, sunat perempuan tidak memiliki manfaat yang terbukti dan tidak direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia. Dikutip dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tindakan ini umumnya melibatkan pemotongan atau pelukaan ringan pada prepusium (kulit penutup klitoris). Namun, secara anatomis, tidak semua anak perempuan memiliki prepusium, sehingga tindakan ini dianggap tidak perlu. “Sunat perempuan hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan,” tulis dr. Ireska T. Afifa dalam laman IDAI, Senin (22/12/2017), mengutip Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014. Sebelumnya, pada 2010, Kementerian Kesehatan sempat mengatur prosedur sunat perempuan melalui Permenkes No. 1636/Menkes/PER/XI/2010. Namun peraturan tersebut dicabut pada 2014 karena dianggap tidak selaras dengan prinsip-prinsip kesehatan berbasis bukti.
Risiko sunat perempuan dari perspektif kesehatan Dalam praktiknya, sunat perempuan sering kali dilakukan tanpa indikasi medis dan di luar fasilitas kesehatan resmi. Tindakan ini dapat menimbulkan berbagai risiko serius, termasuk perdarahan hebat, infeksi akibat alat tidak steril, serta trauma fisik dan psikologis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (FIGO), serta American Academy of Pediatrics (AAP) menolak seluruh bentuk female genital mutilation (FGM). Mereka menyebutnya sebagai praktik medis yang tidak diperlukan dan berpotensi membahayakan nyawa. Selain itu, dampak jangka panjang FGM juga meliputi nyeri saat berhubungan seksual, kesulitan buang air kecil, hingga gangguan fungsi reproduksi. WHO mengklasifikasikan FGM dalam beberapa tingkat keparahan, mulai dari goresan ringan hingga pemotongan seluruh bagian genitalia luar perempuan.
Perlunya pendekatan edukasi dan kebijakan Lies Marcoes menyatakan bahwa menghapus praktik sunat perempuan di Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan larangan hukum. Ia menekankan pentingnya menaikkan taraf pendidikan masyarakat agar lebih memahami ketimpangan gender dan kekerasan yang dilegitimasi lewat praktik tersebut. “Kita harus memahami bahwa ini adalah warisan budaya yang membatasi kesetaraan perempuan. Edukasi masyarakat penting untuk menghentikan siklus ini,” ujar Lies. Pemerintah Indonesia sendiri telah melarang praktik sunat perempuan melalui Pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Meski demikian, penegakan aturan di lapangan masih menghadapi tantangan karena kuatnya norma sosial dan keagamaan di sejumlah wilayah.
Konsultasikan ke dokter sebelum menjalani prosedur Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengimbau para orang tua agar tidak melakukan sunat perempuan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter anak.
Mengingat belum adanya dasar ilmiah yang membenarkan praktik tersebut, keputusan sunat sebaiknya diambil berdasarkan pertimbangan medis yang valid. “Dari sisi medis, belum ada penelitian berbasis bukti untuk mendukung tindakan rutin sunat pada perempuan,” tambah Ireska.
Tidak ada komentar: