kekurangan dokter. Tidak saja di pelosok, layanan kesehatan di kota-kota juga terganggu karena rasio dokter masih rendah. Kata terganggu bisa dalam arti akses, kompetensi, bisa juga ketidakpuasan. Pasien tidak punya pilihan lain. Tenaga medis yang tersedia harus dapat diandalkan dalam urusan pengobatan. Rasio dokter menurut WHO idealnya 1: 1000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 280 juta, maka idealnya ada 280.000 dokter. Kenyataannya jumlah dokter Indonesia sekarang 176.000. Kekurangannya lebih dari 100.000 dokter. Memenuhi hal tersebut, Kemendikti Saintek dan Kemenkes meluncurkan Satgas percepatan kebutuhan dokter hingga tahun 2029 (Antara, 16 Juli 2025). Pada 2029, jumlah dokter umum diperkirakan bertambah hingga 60.000 orang dan dokter spesialis hingga 4.500 orang. Pemerintah memang sedang mencari strategi memenuhi kebutuhan jumlah dokter. Namun, benarkah mengejar jumlah dan rasio dokter dapat mengangkat derajat kesehatan di Tanah Air?
Sesungguhnya dalam beberapa tahun terakhir, jumlah dokter di Indonesia terus meningkat. Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), jumlah dokter umum dan dokter spesialis Indonesia telah mencapai ratusan ribu orang. Namun, pengamat kesehatan menyatakan bahwa jumlah dokter perlu dikejar terus karena secara rasio memang penting. Namun, kesehatan masyarakat tidak bisa ditakar semata-mata dari banyaknya tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kehadiran dokter memang sangat penting dalam sistem layanan kesehatan. Hanya saja, dokter salah satu faktor dalam sistem kesehatan. Dalam pendekatan kesehatan masyarakat, terdapat determinan sosial kesehatan, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi derajat kesehatan individu dan masyarakat. Faktor tersebut mencakup lingkungan, pendidikan, ekonomi, gizi, akses air bersih, hingga perilaku hidup bersih dan sehat. WHO bahkan menyebut bahwa sistem layanan kesehatan hanya menyumbang 10-20 persen terhadap status kesehatan individu dan masyarakat. Selebihnya dipengaruhi oleh determinan sosial masyarakat tersebut. Maka dapat dimengerti, berapapun rasio dokter Indonesia yang nanti kita miliki pada 2029, kalau masyarakat masih hidup di lingkungan kumuh, air minum tak layak, gizi buruk, dan akses kesehatan tak merata, maka angka kesakitan tetap akan tinggi. Masalah lain yang mecolok dan sering terangkat adalah distribusi dokter tidak seimbang merata. Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sebagian besar dokter menetap di kota besar dan pusat-pusat ekonomi seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Ujung Pandang, dan Medan. Jumlah dokter di pulau Jawa dan Bali cukup padat, walaupun secara rasio juga masih kekurangan. Sementara di wilayah Indonesia timur, di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, keberadaan dokter masih langka. Kemenkes pernah punya program kerja Nusantara Sehat atau wajib kerja dokter spesialis. Namun, tantangan struktural dan logistik tetap menghambat keberlanjutan layanan. Jadi kalau jumlah dokter meningkat, maka dampaknya pada akses layanan kesehatan masih tanda tanya karena tidak merata di seluruh Indonesia.
Yang mengkhawatirkan jika dokter makin banyak, bisa terjadi kecenderungan dalam layanan medis yang sangat medikalistik, yaitu sangat terfokus pada pemberian obat, diagnosis penyakit dan tindakan kuratif. Sedang kesehatan masyarakat membutuhkan pendekatan promotif dan preventif seperti penyuluhan gizi, edukasi perilaku hidup bersih, imunisasi, skrining dini penyakit, dan pengendalian faktor risiko seperti rokok, alkohol, dan obesitas. Sekarang saja banyak dokter terjebak dalam sistem layanan yang sibuk dan padat. Waktu konsultasi pendek, fokus pada keluhan, dan menuliskan resep. Kurangnya komunikasi yang memberi ruang untuk membangun relasi edukatif antara dokter dan pasien membentuk perubahan gaya hidup. Hal tersebut bisa memengaruhi pandangan masyarakat. Masyarakat menjadi pasif terhadap kesehatannya sendiri dan menggantungkan segalanya pada obat dan perawatan medis, bukan pada pencegahan. Dari sini dapat terlihat kesehatan tidak bisa dibebankan pada dokter. Kesehatan hasil dari kolaborasi lintas sektor, yaitu pendidikan yang baik, ekonomi kuat, sanitasi layak, hingga kebijakan publik yang mendukung perilaku hidup sehat. Sebagai contoh, Jepang bukan hanya memiliki dokter kompeten, tetapi juga sistem pendidikan gizi di sekolah, taman bermain yang luas, transportasi publik yang mendukung mobilitas aktif, dan budaya hidup sehat yang tertanam sejak dini. Kondisi demikian mewujudkan harapan hidup dan derajat kesehatan masyarakatnya tinggi, tidak semata karena jumlah dokter dan fasyankesnya banyak. Karena situasi promotif dan preventif di Tanah Air masih rendah, maka banyak dokter mengalami kelelahan akibat beban kerja berlebih, tekanan administratif, dan sistem pembayaran profesi yang tidak adil. Terutama di fasyankes layanan primer (puskesmas, klinik), dokter sering berhadapan dengan ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap program dan layanan yang tersedia, tapi fasilitas dan dukungan terbatas. Dapat diprediksi ketika dokter kelelahan, kualitas layanan bisa menurun, berisiko terhadap keselamatan pasien, bahkan memengaruhi turunnya minat SDM generasi muda ke dunia layanan medis. Maka yang perlu kita benahi dan antisipasi bukan hanya jumlah dokter dan tenaga kesehatan, tapi juga kualitas kerja, distribusi dan sistem pendukung dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Kesehatan adalah hasil akhir dari ekosistem sosial yang sehat. Masyarakat yang sehat lahir dari desa dan kota yang tertata, pendidikan baik, pola konsumsi sehat, ruang terbuka untuk aktivitas fisik, serta sistem kesehatan yang proaktif
Kedepan kita perlu memastikan bahwa dokter berfungsi dalam sistem yang mendukung mereka melakukan pendekatan promotif dan promotif. Pemerintah harus mendorong tanpa lelah kolaborasi antara sektor kesehatan, pendidikan, perencanaan kota, lingkungan, dan ekonomi. Jangan sampai dokter ada, tapi masyarakat tetap sakit-sakitan. Jumlah dokter yang makin banyak tidak berbanding lurus dengan derajat kesehatan yang makin baik. Maka pembentukan satgas percepatan kebutuhan dokter yang dibentuk hingga tahun 2029, harus memberikan dorongan reflektif pada semua pihak tentang masa depan kesehatan. Satgas percepatan kebutuhan dokter membuka ruang mengevaluasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Kita tidak hanya membutuhkan banyak dokter, tapi juga lebih banyak pencegahan, lebih banyak pemerataan, dan lebih banyak kesadaran kolektif untuk hidup sehat. Sehat bukan soal berobat, tapi soal mencegah. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Banyak Dokter, Memangnya Kita Sehat?", Klik untuk baca:
SUMBER : https://health.kompas.com/read/25G18132713368/banyak-dokter-memangnya-kita-sehat
Tidak ada komentar: