Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang menyeret sejumlah petinggi Pertamina, menjadi sorotan publik. Hingga kini, sudah ada sembilan orang yang ditetapkan tersangka, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock and Product Optimization Pertamina, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Publik pun tak luput menyoroti gaji para petinggi Pertamina yang menjadi tersangka. Berdasarkan Laporan Keuangan PT Pertamina Patra Niaga 2023, gaji direktur utama per bulan diperkirakan mencapai Rp 1,82 miliar. Lantas, mengapa orang dengan gaji tinggi masih bisa melakukan korupsi?
Faktor psikologis
Psikolog sekaligus dosen di Fakultas Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, korupsi dapat dipahami sebagai upaya untuk mengatasi kecemasan atau kematian, sebagaimana teori June Abraham. "Logikanya, orang melakukan korupsi mungkin merasa mereka dapat mengabadikan hidupnya melalui kekuasaan. Ibaratnya, kalau meninggal tidak lagi mengkhawatirkan keturaunannya karena sudah terjamin," ungkap Ratna, kepada Kompas.com, Kamis (27/2/2025).
Sementara, berdasarakan teori Abraham Maslow, seseorang melakukan korupsi demi memenuhi kebutuhan yang bertingkat. Ratna menerangkan, kebutuhan manusia dibagi menjadi beberapa tingkatan, mulai dari yang paling dasar, yaitu sandang, pangan, papan, lalu keinginan dicintai, serta kebutuhan akan pengakuan. Semakin besar pendapatan yang dimiliki, akan semakin banyak kebutuhan yang ingin dipenuhi. "Meski orang sudah punya miliaran pendapatan, tapi semakin besar pendapatan, kebutuhan biasanya semakin banyak, termasuk membeli yang bukan kebutuhan (dasar) lagi, tapi pengakuan," ungkapnya.
Faktor sosiologis
Sementara itu, sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono mengungkapkan, pendapatan bisa memengaruhi konsumsi seseorang. "Jadi, konsumsi itu naik searah dengan pendapatan. Tapi kalau pendapatan turun, belum tentu ikut turun karena ada penahannya, yaitu status atau nilai simbol," paparnya, saat dihubungi secara terpisah, Kamis. Drajat mencontohkan, nilai simbol yang dimaksud adalah seseorang merasa dihormati atau bangga saat menggunakan mobil mewah. Artinya, barang tersebut memiliki makna tertentu dan tidak hanya sekadar fungsi. Ketika nilai simbol ini turun, akan memberikan tekanan emosi yang besar sehingga orang akan berusaha mempertahankannya.
Dalam ilmu Sosiologi, hal ini dikenal dengan istilah conspicuous consumption, yaitu tindakan membeli barang untuk memamerkan kekayaan dan mendapat status sosial di masyarakat. "Jadi, bagaimana konsumsi itu terus meningkat sampai pada level leisure class, yaitu kelas yang nampak bagi semua orang bahwa dia itu uangnya sudah berlebih," kata Drajat. Mereka yang termasuk ke dalam kelas ini, biasanya bukan lagi bekerja mencari uang, melainkan peluang. Dia menambahkan, menjamurnya korupsi juga dipicu oleh iklim kerja yang bersifat kapitalistik atau penuh persaingan hingga tak segan mengabaikan moral.
SUMBER: https://www.kompas.com/tren/read/2025/03/01/080000665/punya-gaji-besar-kenapa-pejabat-masih-korupsi-
Tidak ada komentar: