Surabaya (beritajatim.com) – Kemendikbudristek menerima ribuan usulan gelar guru besar di Indonesia bermasalah, salah satunya di Jatim. Usulan tersebut tidak bisa diloloskan lantaran adanya dugaan pelanggaran.
Setidaknya ada 64 persen atau 7.598 usulan gelar guru besar di Indonesia yang ditolak dengan beragam alasan. Salah satunya yakni adanya pelanggaran etika akademik yang dilakukan oleh pemohon.
Parahnya lagi, disinyalir penyebab penolakan tersebut karena ada yang ketahuan menggunakan jasa joki demi lolos menjadi guru besar.
Rektor Universitas W.R. Supratman Surabaya Bachrul Amiq mengungkapkan, untuk mendapatkan gelar guru besar atau profesor, secara prosedur memanglah sulit. Ada sejumlah ketentuan yang ditetapkan pemerintah.
“Panjang prosesnya. Tidak semua dosen mampu memenuhi kebutuhan persyaratan yang ditentukan,” ungkap Amiq, Rabu (15/5/2024).
Adapun ketentuan tersebut antara lain pendidikan atau gelar, riset atau penelitian, dan pengabdian. Persyaratan ini harus sesuai standar. Pun dengan publikasi, tidak semua dosen sanggup melakukannya.
Misalnya publikasi internasional ada ketentuan khusus yang harus dilalui, jika tidak standar pengajuan gelar profesor tidak akan bisa diperoleh. “Pendidikan, penelitian dan pengabdian itu dasarnya,” kata Amiq.
Sementara salah satu rektor di Jatim membeberkan jika gelar guru besar di Indonesia tidak murni bisa dicapai atas kualitas dosen yang mengajukan. Banyak profesor menggunakan jasa pihak ketiga.
“Kan aneh juga, dalam setahun ada tiga riset yang dipublikasikan internasional. Idealnya kan dua, aneh kalau ada yang tiga, belum lagi publikasi internasional yang menggunakan salah satu negara,” bebernya.
Sebelumnya, (24/1/2023), Direktur Sumber Daya Kemendikbudristek Mohammad Sofwan Effendi mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan pengajuan guru besar ini ditolak.
Di antaranya karena jurnalnya tidak bagus, relevansi keilmuannya tidak cocok, pelanggaran etika akademik, dan sisanya berkaitan karena masalah administrasi.
Dalam penilaian calon guru besar, Kemendikbudristek mempertimbangkan kualitas jurnal tempat artikel ilmiah. Pertimbangan berikutnya menyangkut relevansi keilmuan antara penulis dan jurnal.
“Kalau dalam guru besar, minimal ada tiga keselarasan yaitu sesuai S3, sesuai bidang penugasan, dan sesuai dengan bidang yang ditulis,” tutur Sofwan.
Hal yang tidak kalah penting adalah bebas dari pelanggaran etika akademik. Adapun terkait pelanggaran etika dosen dalam pencalonan guru besar, saat ini Kemendikbudristek tengah memeriksa laporan dugaan pelanggan integritas seorang dosen di Jatim.
“Saat ini kami terima laporan seperti itu dari Provinsi Jawa Timur. Tetapi kami belum bisa buka, sekarang sedang berlangsung klarifikasi,” kata Sofwan.
Diketahui, dosen tersebut sudah mendapat SK sebagai guru besar karena memenuhi syarat administratif. Jika laporan dari warga terbukti adanya pelanggaran integritas, SK guru besar dosen itu dapat ditinjau ulang. [ipl/ian]
Tidak ada komentar: